Beberapa hari menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI   pertama. Presiden Soekamo memberi tugas kepada ajudannya, Mayor M.   Husein Mutahar untuk mempersiapkan upacara peringatan Detik-Detik   Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1946, dihalaman Istana   Presiden Gedung Agung Yogyakarta.
Pada saat itu, sebuah gagasan  berkelebat di benak Mutahar. Alangkah  baiknya bila persatuan dan  kesatuan bangsa dapat dilestarikan kepada  generasi muda yang kelak akan  menggantikan para pemimpin saat itu.  Pengibaran bendera pusaka bisa  menjadi simbol kesinambungan nilai-nilai  perjuangan. Karena itu, para  pemudalah yang harus mengibarkan bendera  pusaka. Dari sanalah   kemudian  dibentuk kelompokkelompok pengibar  bendera pusaka, mulai dari lima  orang pemuda-pemudi pada tahun 1946  —yang menggambarkan Pancasila.
Namun,   Mutahar mengimpikan bila kelak para pengibar bendera pusaka itu adalah   pemuda-pemuda utusan dari seluruh daerah di Indonesia. Sekembalinya   ibukota Republik Indonesia ke Jakarta, mulai tahun 1950 pengibaran   bendera pusaka dilaksanakan di Istana Merdeka Jakarta. Regu-regu   pengibar dibentuk dan diatur oleh Rumah Tangga Kepresidenan Rl sampai   tahun 1966. Para pengibar bendera itu memang para pemuda, tapi belum   mewakili apa yang ada dalam pikiran Mutahar. Tahun 1967, Husain Mutahar   kembali dipanggil Presiden Soeharto untuk dimintai pendapat dan   menangani masalah pengibaran bendera pusaka. Ajakan itu, bagi Mutahar   seperti “mendapat durian runtuh” karena berarti ia bisa melanjutkan   gagasannya membentuk pasukan yang terdiri dari para pemuda dari seluruh   Indonesia. Tersirat dalam benak Husain Mutahar akhirnya menjadi   kenyataan. Setelah tahun sebelumnya diadakan ujicoba, maka pada tahun   1968 didatangkanlah pada pemuda utusan daerah dari seluruh Indonesia   untuk mengibarkan bendera pusaka. Sayang, belum seluruhnya provinsi bisa   mengirimkan utusannya, sehingga pasukan pengibar bendera pusaka tahun   itu masih harus ditambah dengan eks anggota pasukan tahun 1967.
Selama  enam tahun, 1967-1972, bendera pusaka dikibarkan oleh para  pemuda  utusan daerah dengan sebutan “Pasukan Penggerek Bendera Pusaka”.  Nama,  pada kurun waktu itu memang belum menjadi perhatian utama,  karena yang  terpenting tujuan mengibarkan bendera pusaka oleh para  pemuda utusan  daerah sudah menjadi kenyataan. Dalam mempersiapkan  Pasukan Penggerek  Bendera Pusaka, Husein Mutahar sebagai Dirjen Udaka  (Urusan Pemuda dan  Pramuka) tentu tak dapat bekerja sendiri. Sejak  akhir 1967, ia  mendapatkan dukungan dari Drs Idik Sulaeman yang  dipindahtugaskan ke  Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (dari  Departemen Perindustrian dan  Kerajinan) sebagai Kepala Dinas  Pengembangan dan Latihan. Idik yang  terkenal memiliki karakter kerja  sangat rapi dan teliti, lalu  mempersiapkan konsep pelatihan dengan  sempurna, baik dalam bidang fisik,  mental, maupun spiritual. Latihan  yang merupakan derivasi dari konsep  Kepanduan itu diberi nama ”Latihan  Pandu Ibu Indonesia Ber-Pancasila”.  Setelah melengkapi silabus latihan  dengan berbagai atribut dan pakaian  seragam, pada tahun 1973 Idik  Sulaeman melontarkan suatu gagasan baru  kepada Mutahar. ”Bagaimana  kalau pasukan pengibar bendera pusaka kita  beri nama baru,” katanya.  Mutahar yang tak lain mantan pembina penegak  Idik di Gerakan Pramuka  menganggukkan kepala. Maka, kemudian meluncurlah  sebuah nama antik  berbentuk akronim yang agak sukar diucapkan bagi  orang yang pertama  kali menyebutnya. Akronim itu adalah PASKIBRAKA, yang  merupakan  singkatan dari Pasukan Pengibar Bendera Pusaka. ”Pas” berasal  dari kata  pasukan, ”kib” dari kata kibar, ”ra” dari kata bendera dan  ”ka” dari  kata pusaka. Idik yang sarjana senirupa lulusan Institut  Teknologi  Bandung (ITB) itupun juga segera memainkan kelentikan  tangannya dalam  membuat sketsa. Hasilnya, adalah berbagai atribut yang  digunakan  Paskibraka, mulai dari Lambang Anggota, Lambang Korps, Kendit  Kecakapan  sampai Tanda Pengukuhan (Lencana Merah-Putih Garuda/MPG). Nama   Paskibraka dan atribut baru itulah yang dipakai sejak tahun 1973 sampai   sekarang. Sulitnya penyebutan akronim Paskibraka memang sempat   mengakibatkan kesalahan ucap pada sejumlah reporter televisi saat   melaporkan siaran langsung pengibaran bendera pusaka setiap tanggal 17   Agustus di Istana Merdeka. Bahkan, tak jarang wartawan media cetak masih   ada yang salah menuliskannya dalam berita, misalnya dengan   ”Paskibrata”. Tapi, bagi para anggota Paskibraka, Purna (mantan)   Paskibraka maupun orang-orang yang terlibat di dalamnya, kata Paskibraka   telah menjadi sesuatu yang sakral dan penuh kebanggaan.
Memang  pernah, suatu kali nama Paskibraka akan diganti, bahkan  pasukannya pun  akan dilikuidasi. Itu terjadi pada tahun 2000 ketika  Presiden Republik  Indonesia dijabat oleh KH Abdurrahman Wahid atau Gus  Dur. Kata ”pusaka”  yang ada dalam akronim Paskibraka dianggap Gus Dur  mengandung makna  ”klenik”. Untunglah, dengan perjuangan keras orang  orang yang berperan  besar dalam sejarah Paskibraka, akhirnya niat Gus  Dur untuk melikuidasi  Paskibraka dapat dicegah. Apalagi, Peraturan  Pemerintah No. 40 Tahun  1958 tentang Bendera Kebangsaan Republik  Indonesia, pada pasal 4  jelas-jelas menyebutkan: (1) BENDERA PUSAKA  adalah Bendera Kebangsaan  yang digunakan pada upacara Proklamasi  Kemerdekaan di Jakarta pada  tanggal 17 Agustus 1945. (2) BENDERA PUSAKA  hanya dikibarkan pada  tanggal 17 Agustus. (3) Ketentuan-ketentuan pada  Pasal 22 tidak berlaku  bagi BENDERA PUSAKA. (Pasal 22: Apabila Bendera  Kebangsaan dalam keadaan  sedemikian rupa,  hingga tak layak untuk  dikibarkan lagi, maka bendera  itu harus dihancurkan dengan mengingat  kedudukannya, atau dibakar). Itu  berati, bila Presiden ngotot mengubah  nama Paskibraka, berarti dia  melanggar PP No. 40 Tahun 1958. Presiden  akhirnya tidak jadi membubarkan  Paskibraka, tapi meminta namanya  diganti menjadi ”Pasukan Pengibar  Bendera Merah-Putih” saja. Hal ini  di-iyakan saja, tapi dalam siaran  televisi dan pemberitaan media massa,  nama pasukan tak pernah diganti.  Paskibraka yang telah menjalani kurun  sejarah 32 tahun tetap seperti apa  adanya, sampai akhirnya Gus Dur  sendiri yang dilengserkan.
Sumber : Buku Kenangan 25 Tahun PASKIBRAKA, 1993 


Tidak ada komentar:
Posting Komentar